BERITA UNIK

Manfaat Dildo yang Wajib Orang-orang Tahu

PELANGIQQ: Manfaat Dildo yang Wajib Orang-orang Tahu Pagi-pagi sekali, El pergi ke Pengadilan Agama. Ia bermaksud menceraikan istrinya. Tapi setelah berhadapan dengan seorang pria tua di meja informasi atau pengaduan, El tak diterima baik. Bukan karena ia tidak membawa sepucuk surat pun sebagai syarat — itu bisa diurus kemudian hari kata pria tua itu — namun lebih-lebih akibat argumen El terlewat konyol: “istriku, lebih mencintai dildo daripada saya, Pak.”

Manfaat Dildo yang Wajib Orang-orang Tahu

“Dildo?”

Pria tua itu tak mengerti. Dahinya mengernyit. Seperti polisi tidur.

“Alat agar jari atau burungmu tidak kram. Khusus untuk kenikmatan istrimu atau gundikmu.”PELANGIQQ

“Oalah,” kata pria tua itu setelah beberapa detik.

Kemudian pria itu memberi saran El untuk pulang. Sebab undang-undang negara perihal perceraian tidak pernah menyebutkan kata dildo sebagai alasan. Lagipula, pria tua itu tak punya banyak waktu dan energi mengacuhkan pemuda dungu.POKER ONLINE

“Tapi, Pak! Saya tetap ingin cerai!” balas El.

“Yasudah! Pakailah alasan lain, dan bawa berkasmu besok! Gitu aja kok mumet.”

“Jingan!” El menghardik, bareng dengan tangannya yang menggebrak meja, berdiri, balik badan dan pulang.

Barangkali pria tua itu merasa tak menjadi sasaran umpatan, sehingga El belum sampai membuka pintu keluar, ia malah meledek, “atau kau pergi saja ke toko jamu, anak muda! Mak Erot boleh juga!” seketika tawanya meledak tak keruan. Tak peduli pada klien-klien penggugat cerai selanjutnya.

Semalam merupakan waktu yang melelahkan bagi El, dan menurutnya bukan masalah sederhana. Ibaratnya, ketika perutnya mulai lapar, dengan sayur kangkung dan lauk tempe ia dan istrinya makan sembari nonton sinetron favorit. Tidak nikmat kalau makan tanpa nonton sinetron, kata istrinya suatu kali. Tapi sayang, ketika sinetron sudah seharusnya tamat, gambarnya hilang dan untuk itu ia harus menapuk-napuk sisi samping televisi sebagaimana ritus aneh sekaligus konyol sekaligus tidak masuk akal lainnya. Dan untuk itu pula ketika gambar benar-benar tak bisa muncul kembali, tempe sebagai lauk terindah baginya telah raib dimakan kucing.

Padahal kalau mau jujur, sinetron hanyalah hiburan semata. Di sebuah kampung yang asri, yang mana ibu-ibu adalah pekerja sedangkan bapak-bapak mengurus rumah tangga hidup dengan damai. Tak tanggung-tanggung, pekerjaan hanya mungkin didapat di luar negeri sebagai pahlawan devisa negara. Bapak dan anak-anak ditinggalkan jauh di tanah asing. Sedangkan pada suatu siang yang terik, bapak-bapak berkumpul di warung seorang janda cantik bahenol. Berbincang tentang motor baru seorang anggota komunitas suami ditinggal istri tersebut.

Seorang tokoh antagonis di antara mereka dengan gelang, cincin, dan kalung emas menghiasi tubuhnya sirik berkata, “ah motor murahan saja bangga dibawa-bawa jalan-jalan. Aku nanti beli yang lebih bagus dan otomatis lebih mahal daripada punyamu,” ia berbangga, kemudian pulang segera telepon istrinya, “Mami, Si Sulung sering telat ke sekolah sebab motor tua kita sering mogok. Mesinnya-lah, bannya bocor-lah. Ada-ada saja pokoknya. Masa kita nggak beli motor baru, Mi?” antagonis senang dan tertawa, sebab dalam sekejab dengan mudah istrinya mengabulkan.

Mungkin, mereka, punggawa sinetron hanya hendak satire. Dan konon, satire merupakan sebuah cara elit untuk guyon. Tapi El tak paham arti satire. El hanya sadar sinetron telah menjeratnya, membuatnya tak berkutik. Sebagaimana pepatah penyesalan datang di akhir. Ya, siapapun yang mengira sinetron gambaran dari dildo adalah benar adanya.

Seperti pengantin muda lainnya, El dan istri, berfantasi jauh melampaui kemampuan mereka, terlebih El. Sedari tempat, gaya, alur cerita, hingga alat tak terkecuali dildo mereka kulak dan tirukan dari laman video bokep langganan. Tak butuh waktu lama, tepatnya tiga bulan lalu, untuk dildo menjadi pujaan kepuasan istri daripada titit El. Getaran-getaran tiada henti, tusukan-tusukan yang dalam, kebesaran-kebesaran yang merekah, membuat istri El terbang ke surga dengan bidadari-bidadari di dalamnya. Tanpa mengajak El.

“Mas, malam ini pakai dido lagi, ya?” pinta istri El, menyebut dildo dengan dido. Imut dan lucu, bukan?

“Mbok ndak usah, Dek. Pake punyaku aja. Nanti aku nggak dapet jatah lagi,” El mengemis seperti bocah minta permen pada ibunya.

“Pokoknya kalau nggak pake dido aku nggak mau kawin. Titik!”

El tak bisa berbuat apa-apa. Mati kutu. Apabila ia mengalah, hasilnya akan sama: tititnya pasti tak berguna. Lalu untuk apa Tuhan menciptakan titit, pikir El, sebagai hiasan atau sekadar buat pipis semata? Maka ia protes pada istrinya, “beginikah kamu perlakukan diriku? Suamimu?”

“Memang kenapa?” istrinya malah melengos.

Seketika El mengamuk. Membabi-buta mengacak seisi rumah hingga tak bersisa. Semuanya pecah luluh-lantak. Kesabarannya telah habis dilahap dildo. Barang konyol itu; panjang tigapuluh senti, diameter sepuluh senti, berwarna pink dan lengket menjijikkan itu sungguh sialan. Memang, tanpanya, El hanya lelaki tak berdaya dihadapan istrinya. Paling lama sepuluh menit. Ejakulasi dini kata orang-orang. Hingga pertanyaan istrinya yang pendek tapi menyiksa pasti terucap setelahnya, “sudah keluar?” sedangkan El hanya bisa meringkuk tak bisa tidur sepanjang malam. Tetapi, sungguh, malam ini sudah cukup sebagai bukti bahwa istrinya lebih mencintai dildo. Kemudian yang paling penting ialah, martabat El sebagai suami dan lelaki dibuang dengan mudahnya ke antah berantah. Jadi, jalan apalagi yang harus ditempuh seorang suami kehilangan harga dri dan putus asa selain mengamuk kemudian menceraikan istrinya? Pun, kalau belum bisa hari ini, paling tidak istrinya telah ia usir pulang ke rumah mertuanya.

Maka malam harinya El tinggal sendirian. Berdiam diri di kamar kapal pecah. Tiduran di kasur sembari memegangi dildo kesayangan istrinya. Membolak-balikkannya seperti mencari sesuatu. Bagaimana bisa barang konyol ini merebut cinta istrinya? Ingin sekali ia mencari pabriknya. Bahkan meski harus ke China, menjadi TKI dan menyamar sebagai pegawai. Mengabdi untuk membalas dendam dengan sabotase pembakaran. Menyampaikan pesan pada dunia, bahwa lelaki dan kelelakian tak bisa dikalahkan oleh teknologi model apapun. Seketika pabrik-pabrik dildo mulai kolaps, dan ketersediaan dildo di pasaran jadi langka bahkan menghilang. El dan laki-laki di seluruh dunia akan kembali berjaya.

Tiba-tiba bayangan El mulai terganggu oleh suara-suara berisik dari arah garasi. Sekali dua kali ia hiraukan, namun kian lama kian jelas, bahwa ada sesuatu dan ia harus segera memeriksanya. Kemungkinannya hanya dua, kalau bukan demit, ya maling, kata El dalam hati. Walaupun El mulai melangkahkan kaki, sebenarnya ia tidak pemberani amat. Terlebih ia sendirian. Andai saja istrinya masih di rumah, minimal bisa menemani El. Tapi semua sudah terlanjur, dan El harus menghadapinya sendirian. Pelan-pelan ia menuruni tangga dan bersembunyi di balik pintu garasi. Mencoba mendengar suara bisik-bisik antar dua orang. Sudah pasti maling. Pelan-pelan El coba meneguhkan diri, paling tidak untuk membuat mereka kabur — lagipula tiada hal yang memberatkan untuknya masih hidup. Sontak ia meneriaki mereka dengan kata maling sekeras-sekerasnya seperti toa dari masjid seraya berlari menuju mereka berdua yang sedang kaget dan mulai memukul mereka menggunakan sebuah senjata yang dipegangnya sedari kamar tadi: dildo. Kuat sekaligus ngawur pokoknya mengenai bagian vital di kepala mereka; janggut, tengkuk, atau dahi. Saking kuatnya hingga dildo itu patah dan arus listriknya yang terbuka mengenai kedua maling itu sampai mati. Sesaat setelah itu, di dalam kegelapan, El mendapati sepucuk revolver rakitan tengah dipegang salah seorang di antara mereka. Belum sempat atau gagal meletus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *